1. Perubahan Sosio Kultural
Dengan berubahnya kebiasaan manusia yang dipengaruhi
kebutuhan hidup dan cara berpikir, maka
perubahan itulah yang
melatarbelakangi perubahan sebuah sajian tari menuju arah yang berbeda. Hal itu
dapat berubah karena faktor internal dan faktor eksternal. Ada yang berubah ke
arah berkembangnya jenis-jenis tari. Ada yang berubah ke arah stagnasi kreativitas
karena masuknya unsur teknologi modern yang terlalu dominan. Hal itu bergantung
pada latar belakang dan lingkungan masyarakat tempat tumbuhnya tari tersebut.
Ketika suatu masyarakat mengalami perubahan sosial sehingga
norma dan gaya hidup berubah, maka seni budaya yang menjadi bagian sehari-hari
manusia dalam sebuah komunitas tidak lagi menjadi kesepakatan bersama di dalam
komunitas itu.
a. Perubahan Fungsi karena Faktor Eksternal
Faktor eksternal menjadi salah satu penyebab perubahan
sebuah karya seni tari tradisonal. Pengaruh eksternal berarti pengaruh yang
datang dari luar diri manusia dan juga pengaruh dari luar komunitas yang telah
menyepakati sebuah seni budaya tadi. Akulturasi sering disebut sebagai salah
satu bentuk perubahan itu. Ketika seni tari tradisional kurang diminati,
berbagai upaya dilakukan agar bangsa ini mau berpaling pada seni tradisional.
Oleh karena itu, dibuatlah kreasi tari yang mengolaborasikan gerak adopsi dari
negeri Barat ke dalam tari tradisional. Sekitar tahun 80-an, Tari "Break
Dance" atau Tari Kejang merambah bilik kawula muda dengan menjadi tari
yang paling trend saat itu. Tarian tersebut dipelajari dan terdapat di
setiap penjuru kota, hingga ke pelosok desa.
Demam Tari Kejang dimanfaatkan untuk mendongkrak Tari
Tradisional Jaipongan (dari Jawa Barat) dengan mengolaborasikannya menjadi
"Tari Brikpong". Gerakan Break Dance disisipkan pada
serangkaian gerak jaipongan, tetapi dengan tabuhan gendang khas gendang Sunda.
Itulah contoh akulturasi yang tidak terasa menyusup ke dalam jiwa pemuda
Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, sesuatu yang bukan ciri khas dan
kepribadian sendiri, perlahan pudar dan hilang. Akan tetapi seni budaya yang
benarbenar refleksi kehidupan masyarakat, tidak akan lekas punah. Kita adalah
aset dalam lestari atau tidaknya seni tradisional tersebut.
Pernahkah Anda menonton "Lomba Penari Indonesia"
pada salah satu stasiun televisi swasta? Fenomena festival tari menjadi ajang
aktualisasi diri yang positif. Kemampuan menari dengan teknik tari yang baik
dapat dicapai dengan kondisi tubuh kita yang memadai bagi standar seorang
penari. Kelenturan, keseimbangan, fleksibilitas tubuh, kekuatan kaki, fisik
yang sehat dan prima serta penampilan yang menarik menjadi faktor penentu
lolosnya calon sang penari Indonesia. Sekarang, orang menari tidak lagi sekedar
hobi atau mengisi waktu luang, tetapi menjadi sebuah profesi, bahkan prestise
jika mampu menjadi yang terbaik bagi sebagian orang.
Perubahan kedudukan tari serta fungsinya terjadi karena era
globalisasi menciptakan persaingan hidup sehingga pekerjaan sulit didapat.
Dahulu, menari sekadar menghibur hati. Menonton pertunjukan tari juga banyak
sekadar berapresiasi untuk menghibur hati dan menambah wawasan bagi penonton
"terbatas". Namun sekarang, kedudukan tari dan penghargaan orang
terhadap pertunjukan tari lebih maju dan tinggi. Ukurannya tidak selalu dalam
bentuk material, tetapi yang jelas terlihat dan dirasakan oleh seniman alami
ataupun seniman hasil pematangan disiplin ilmu seni. Karena dengan semakin
terpenuhinya kebutuhan primer, dengan rileks kita dapat mengejar kesenangan
batin sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder.
Ketika masyarakat menganggap sesuatu yang baru sebagai
sebuah kemajuan atau modern, serbuan budaya asing menjadi penting untuk membaur
dengan budaya negeri sendiri. Pembauran tersebut dianggap sebagai sebuah kreasi
baru sepanjang waktu. Namun, ketika datang hal yang lain, kreasi baru menjadi
sesuatu yang lama dan menjadi sebuah tradisi. Dahulu Jaipongan dianggap
sebagai sebuah karya baru yang malah mendapat berbagai macam kritik tajam dari
para pengamat dan praktisi seni tari. Kemudian, tarian dari Jawa Barat ini
menjadi ”booming” dan digemari masyarakat secara luas. Semua orang
berbondong-bondong ingin mempelajari tarian ini dan hampir pada setiap acara
seni hiburan di daerah dan kota mengundang dan menampilkan Tari Jaipongan.
Kini, tari ini menjadi sebuah kreasi yang lama, meski bentuk kreativitas dan
gaya masih berkembang dan digemari masyarakat secara luas.
1)
Pengaruh gerak tari dari bangsa lain
Sikap jemari tangan ngruji, nyempurit, dan ngiting
terdapat pada tari Jawa gaya Yogyakarta dan Solo. Sikap ini merupakan
pengaruh sikap tangan paham India. Ketiganya mengandung arti yang berbeda pada
kitab seni tari India, Natya Sastra, karya Baratha Muni. Pengaruh ini
sejalan dengan proses perkembangan budaya menjadi larut dalam kultur masyarakat
setempat. Sebagai contoh kecil pembauran terdapat pada bentuk gerak tari yang
satu sama lain menyerupai, tetapi dengan nama yang berbeda.
Pada tari gaya Yogyakarta, gerak seperti ngruji yang
dipakai untuk bentuk gerak tangan dipakai untuk salah satu gerak tari Bali,
sedangkan bentuk gerak yang sama dipakai istilah ngruyung untuk gaya
Solo, di Sunda digunakan istilah nanggre. Pada ajaran yang bersumber
dari Natya Sastra, istilah mudra pataka atau ngruji, atau ngruyung,
mengandung arti sebagai berikut:
a)
hutan,
b)
sungai atau laut,
c)
kuda,
d)
waktu malam,
e)
bulan purnama,
f)
hari hujan,
g)
sinar matahari,
h)
bulan atau tahun.
Pada umumnya, pemakaian sikap tangan mudra mengutamakan
segi estetisnya dibanding ekspresi secara simbolis. Dengan kata lain, meski
bentuk gerak sama dengan simbol ajaran Hindu di India, tetapi gerakan yang
dilakukan tidak mengandung arti tertentu bagi kita. Gerakan dipakai dan
ditempatkan dalam koreografi dengan alasan hanya karena bentuknya yang dinilai
indah.
Setelah melewati fase feodalisme, kondisi sosial ekonomi di
Indonesia membaik dan perkembangan seni tari tradisional mendapat tempat yang
"membaik" pula. Masyarakat tidak lagi ragu untuk berkreasi menuangkan
ide dan karya yang inovatif setelah dibelenggu oleh status sosial yang
menganggap bahwa pribumi (inlander) bodoh. Sebelumnya, tari hanya
diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan para pejabat kolonial sebagai sebuah
hiburan yang memuaskan para pengeruk kekayaan dan ajang pamer kekuasaan.
Pada saat bangsa terlepas dari kolonialisme, dunia seni tari
tradisional merebak bak jamur di musim semi. Setiap daerah memiliki
sanggar-sanggar tari yang dipenuhi para peminat. Berpuluh-puluh tarian–bahkan
ratusan–dipelajari dan diperkenalkan serta masuk ke kalangan pejabat sebagai
hiburan atau tari persembahan. Hal ini menimbulkan gairah bagi para koreografer
untuk semakin menambah kekayaan seni tari Indonesia. Diantaranya, dengan
menyelenggarakan festival tari daerah atau kursus tari bagi semua kalangan.
2)
Pengaruh terhadap Busana Tari Indonesia
Selain dikenal dari bentuk gerak,
masuknya budaya luar ke dalam tari tradisi kita adalah dengan busana tarian dan
iringannya. Contohnya, pemakaian kuku yang runcing indah pada Tari Sriwijaya
dari Palembang. Pemakai kuku aluminium itu mirip dengan yang dipergunakan oleh
para penari Birma atau Thailand. Demikian juga busana Tari Lenso dari Maluku,
seperti pakaian sehari-hari bangsa asing pada zaman dahulu. Kini pakaian
seperti itu sudah menjadi pakaian sehari-hari bangsa Indonesia sehingga tidak
terasa lagi sebagai pakaian yang asing dan berbeda. Perhatikan gambar beberapa
busana Tari Nusantara berikut, baik tari tunggal maupun kelompok.
3)
Pergeseran Nilai
Dari masa ke masa, tari mengalami pergeseran nilai dan
perubahan bentuk. Hal itu disebabkan beberapa faktor, seperti berubahnya
fungsi, pemenuhan kebutuhan pentas hiburan atau tontonan, dan perubahan sosial
dalam kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai pada tari terjadi akibat
berubahnya fungsi tari.
Zaman dahulu fungsi tari upacara memang ditujukan untuk
komunikasi religius manusia dengan Sang Khalik Yang Maha Berkuasa. Ketika
tari-tarian upacara diangkat menjadi sebuah tari tontonan, maka iklim mistis
religius dan kesakralannya menjadi hilang. Dengan demikian, tidak ada lagi aturan
baku yang menjadi persyaratan sebuah tari upacara. Misalnya, Tari Tor Tor dari
Batak Toba. Dalam setiap gerakan tangan mengandung arti tertentu, seperti
berikut.
a)
Empat Posisi tangan Manea Nea: meminta berkat, turut menanggung beban
b)
Memasu–masu: memberi berkat
c)
Mangido tua: meminta atau menerima berkat
d)
Manomba:
menyembah, meminta berkat
Ketika gerak ini dilakukan di atas panggung dalam sebuah
pentas seni untuk menyambut dan menghibur tamu, makna dari empat posisi tangan
itu menjadi hilang dan bergeser menjadi sebuah tarian yang penuh dengan sajian
estetis semata.
b. Perubahan Fungsi karena Faktor Internal
Faktor internal muncul dari jiwa, pemikiran, dan sikap
seorang seniman. Dengan berbagai pengalaman dalam mengarungi hidup, menimba ilmu,
merambah pengalaman berkesenian, dan berbagi disiplin ilmu, kekayaan batin
seseorang terpantul dalam karya seni yang digelutinya, terlahir dengan bentuk,
gaya, dan nuansa baru. Misalnya, dalam cara penataan sebuah tarian, desain,
maupun bentuk sajian tari. Gagasan kreativitas sebuah karya seni tari
benar-benar lahir dari batin terdalam seniman, untuk mewujudkan idealisme karyanya
sebagai bentuk jati diri. Hal itu sah saja dilakukan menurut aturan umum sebuah
prinsip kreativitas seni. Sekarang ini, berbagai tari pertunjukan bermunculan
karena faktor eksternal dan internal tadi.
view publisher site dildo,wholesale sex toys,sex chair,wolf dildo,horse dildo,dildo,sex dolls,wholesale sex toys,sex chair description
BalasHapus